Fanfiction - SasuHina
Summer, July...
Sasuke duduk di lantai keramik rumah sakit, bersandar pada dinding yang tepat berada di depan ruang operasi. Tak memedulikan keberadaan sofa set empuk di ruang tunggu yang terletak di sudut ruangan, atau televisi keluaran terbaru yang menjadi fasilitas untuk membunuh rasa bosan selama menunggu. Matanya tak lepas dari ruang operasi yang pintunya pasif tak bergerak. Lampu di atas pintu menyala terang, menandakan operasi yang masih berjalan. Dua jam sudah, belum ada kepastian. Bahkan jika bisa, Sasuke menolak untuk mengedipkan mata, memilih tetap terjaga, agar bisa melihat siapa pun yang keluar dari ruangan itu.
Tak lama kemudian, Tuhan mengabulkan doanya. Seorang pria bersurai perak mengenakan kacamata berbingkai hitam yang lensanya cukup tebal, keluar dari sana. Sasuke tidak berkedip saat pintu ruangan itu terbuka sedikit, setengah, hingga sepenuhnya.
Laki-laki yang keluar menemui Sasuke adalah Yakushi Kabuto, sahabatnya sejak masa sekolah. Ia menjabat sebagai kepala rumah sakit umum milik pemerintah di pusat kota. Malam itu, Kabuto masih ada di ruangannya, menyeleksi daftar dokter baru yang akan dipindahtugaskan ke daerah. Saat ia mendengar kecelakaan yang menimpa Hinata, Kabuto baru saja keluar dari pantry untuk segelas kopi. Sekretarisnya telah pulang sejak jam delapan malam. Kegaduhan di UGD adalah hal umum di rumah sakit mana pun. Kehadiran Sasuke lah yang membuat Kabuto melupakan kopinya dan berlari menuju sahabatnya. Tanpa banyak pertimbangan, Kabuto mengambil alih tanggung jawab dan memimpin operasi Hinata yang cukup berisiko.
"Sasuke-"
Sebelum Kabuto memanggilnya pun, Sasuke telah beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri Kabuto yang berdiri di depan ruang operasi. Kabuto sempat tegang saat Sasuke mencengkeram lengannya. Dokter yang seharusnya bebas dari tugas jaga di UGD itu memikirkan kalimat yang tepat untuk disampaikan. Sasuke menunggu tanpa bertanya, kedua netranya bergerak-gerak memperhatikan wajah lelah sekaligus cemas milik sahabatnya.
"Kami berhasil menyelamatkan nyawanya."
Seketika itu juga cengkeraman Sasuke di lengan Kabuto terlepas. Uchiha itu mengusap wajah tampannya sambil mengucap syukur puluhan kali. Ia lega bukan main.
"Sasuke..."
Satu panggilan lagi, dan itu membuat Sasuke kembali mengalihkan atensi pada Kabuto. Bibirnya melengkung membentuk senyum penuh kelegaan, membuat sebagian hati Kabuto tak tega untuk mengatakan kelanjutannya.
Sasuke masih menunggu dengan masih memasang senyumannya. Biarlah ia terlihat aneh di depan Kabuto, ia tidak peduli. Karena rasa lega saat mengetahui Tuhan masih memberikan Hinata kesempatan untuk hidup yang membuatnya bertingkah begitu.
Kabuto tak juga membuka mulutnya. Keningnya mulai bekeringat karena gugup. Tiba-tiba firasat buruk menyentil hati Sasuke, suaranya serak ketika bertanya. "Ada apa, Kabuto?"
Sasuke melihat Kabuto menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. "Karena benturan hebat yang terjadi pada tengkorak kepalanya, Hinata mengalami kerusakan yang mengganggu transmisi impuls saraf ke otak."
Kabuto kembali mengumpulkan serpihan keberanian untuk menyampaikan berita buruk dengan profesionalitasnya sebagai dokter. Meski ia tidak tega saat melihat wajah Sasuke yang baru semenit terlihat ceria, mendadak berubah menjadi pucat pasi.
"M-maksudmu?"
Suara brangkar yang didorong tergesa, teriakan, tangisan, tawa, serta lalu lalang orang-orang yang ada di sana, bahkan hujan deras yang tiba-tiba di luar, seperti menjadi backsound dari keadaan yang tengah terjadi antara dirinya dan Kabuto di depan ruang operasi. Masih mencoba sabar, Sasuke menunggu Kabuto menjawab pertanyaannya.
"Dia... kehilangan penglihatannya."
Sasuke ingat betul, malam itu. Malam ulang tahunnya.
Berjalan di area parkir apartemen tempatnya tinggal dengan santai, Sasuke melempar kotak beludru berwarna biru dongker ke udara, kemudian menangkapnya, menggenggamnya yakin sebelum memasukkannya ke dalam saku celana. Bersiap menuju apartemen gadis yang telah tiga tahun menjadi kekasihnya. Malam itu juga, Sasuke berniat untuk melamar Hinata.
Sasuke membuka pintu mobil lalu duduk di kursi pengemudi, memastikan penampilannya telah sempurna dengan mengecek pantulan dirinya di kaca spion depan. Ia sengaja mengirim pesan pada Hinata untuk datang besok, menyembunyikan rencana sesungguhnya memberi kejutan pada Hinata di malam ulang tahunnya.
Namun siapa sangka, kejadian buruk malah menimpanya. Menimpa Hinata-nya. Saat ia hampir sampai ke apartemen gadis itu, di perempatan jalan kerumunan orang memaksanya untuk menghentikan laju kendaraan. Rasa penasaran membuatnya menghampiri kerumunan tersebut, sambil menebak dalam hati, apa gerangan yang terjadi di jam hampir tengah malam begini.
Secara refleks, orang-orang yang berkerumun memberi jalan untuk Sasuke, saat ia terus melangkah seperti ada sesuatu yang menariknya . Gemetar, itulah hal pertama yang Sasuke rasakan saat melihat sebuah boks kue yang hancur dengan beberapa bagian kue berwarna kecoklatan tercecer di atas jalanan aspal. Sasuke berdiri sekitar dua meter dari sosok mungil seorang perempuan yang tergeletak tanpa daya. Kepalanya terkulai,wajahnya yang memar parah terlihat buram di mata kelam Sasuke. Darah tergenang di sekitar kepalanya. Dia mengenakan celana jins dengan kaus lengan panjang yang tak lagi jelas warnanya. Sasuke terus berjalan, langkahnya semakin berat saat jaraknya kian dekat.
Malam itu, Sasuke merasakan sakit yang luar biasa di ulu hatinya. Seperti ada ribuan paku yang menancap di sana. Kedua matanya memanas, ekspresi wajahnya menggelap, lututnya gemetar, langkahnya semakin berat, namun ia tetap mendekat. "H-Hinata..." Dunianya seakan berakhir detik itu juga ketika ia melihat perempuan yang begitu ia kasihi, yang beberapa menit lagi akan ia lamar itu terbujur kaku di pinggir jalan. Sasuke tak mengerti apa yang terjadi. Dia mencoba mencaritahu dengan bertanya pada siapa pun yang ada di sana. Tak ada jawaban yang memuaskan. Semua orang sama tak mengertinya dengan dirinya. Keadaan Hinata yang begitu mengenaskan meruntuhkan pertahanan dirinya, ia marah, tak bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Ya Tuhan! Hinata!!"
.
.
.
Prang!
"Hinata!"
Sasuke berlari menghampiri Hinata yang sedang mencoba mengambil gelas di atas nakas. Kedua tangannya memegang bahu ringkih gadis itu, membimbingnya dengan sabar agar kembali ke tempat tidur.
"Lepaskan aku, Sasuke-kun!"
Sasuke terkejut saat Hinata menghindarinya. Perempuan Hyuuga itu tergesa-gesa menjauh hingga ia terjatuh di atas lantai berlapis permadani kamar tidur Sasuke. Tentu saja Sasuke tidak mengindahkan permintaan Hinata. Pria itu masih berada di sisinya, menghampiri, kembali merengkuh dan membantunya berdiri. Meski berulang kali Hinata menolaknya lagi dan lagi.
"Hinata." Suara Sasuke terdengar lemah saat kedua tangan gadis itu masih memukuli dadanya, pelan di awal sebelum semakin bertambah kencang. Sasuke membiarkan, rasa sakit yang ia alami belum seberapa dibanding penderitaan Hinata. Biarlah, jika dengan melakukan itu Hinata bisa puas dan menerima kembali keberadaannya. Sungguh tidak apa.
"Apa yang kau harapkan dariku, hah?!" Hinata mundur selangkah, Sasuke membiarkannya. "Aku gadis miskin! Yatim piatu! Dan sekarang buta!" Hinata berteriak hingga urat-urat di sekitar lehernya menonjol keluar, kedua tangannya terkepal, tubuhnya terguncang mengikuti gerakan dan suaranya menggema kencang di ruang kamar tidur Sasuke yang berukuran besar.
"Kenapa kau tidak pergi saja? Biarkan aku sendiri! Kau memiliki segalanya, kau bisa mendapatkan gadis mana pun yang kau mau!"
Hinata menunjuk ke arah yang ia pikir di sana tempat Sasuke berdiri. Sementara Sasuke hanya terus memperhatikan, nyeri semakin terasa di dadanya.
"Kenapa, Sasuke-kun? Kenapa kau mempertahankanku?!"
Hinata mulai melangkah sembarangan. Sasuke mendekat, namun gadis itu langsung bisa merasakan dan menoleh ke samping kirinya, tempat Sasuke kembali terdiam di sana.
"Jangan mendekat! Aku bisa melakukan apa pun sendiri meski aku tak bisa melihat lagi!"
"Aku percaya itu, Hinata." Suara Sasuke terdengar serak, Hinata terdiam saat mendengarnya. "Aku percaya kau bisa melakukan segalanya tanpa aku-"
Ketika Sasuke melangkah, Hinata menggerakkan tangannya berusaha mencari keberadaan Sasuke.
"Jangan mendekat, Sasuke-kun. Pergilah... tinggalkan aku!"
Hinata semakin histeris. Gadis itu bahkan terisak hebat, membuat kedua kakinya yang lemas tak lagi mampu menopang berat tubuhnya sendiri. Sasuke menatap iba kekasihnya, menghela nafas, berusaha keras menghalau buliran bening air mata yang telah lama berdesakan hendak keluar.
"Hinata, pernahkah kau berpikir bagaimana aku bisa melakukan segalanya tanpa kehadiranmu? Sedang aku sudah terbiasa merasakan setiap rasa saat berada di sisimu."
Saat isakan Hinata semakin kencang, Sasuke berjongkok di dekatnya, membawa tubuh mungil yang tak lagi menolak saat berada di pelukannya.
"Aku cacat, Sasuke-kun."
"Aku tak peduli."
"Aku tidak pantas mendampingimu."
"Itu katamu-"
Sasuke melepas pelukannya, menangkup wajah Hinata. Bola mata serupa berlian itu masih sama indahnya, meski kini tak lagi bisa melihat dunia.
"Kau mau tahu apa pendapatku?"
Sasuke menyingkirkan air mata dari wajah Hinata dengan kedua ibu jarinya, mengecup pelan bibir yang setengah terbuka. Gadis itu masih sesegukan. Sejak dulu, sejak awal mereka menjalin hubungan, Sasuke paling tidak bisa jika melihat Hinata-nya yang manis, menangis.
"Kau lebih dari pantas untuk mendampingi pria egois sepertiku."
Ada senyum di sana, senyum yang telah hampir sebulan tidak menyapanya, senyum yang selalu ia rindukan. Senyuman Hinata-nya.
"Aku mencintaimu Hinata. Dan perasaan itu tidak bisa berubah hanya karena kau kehilangan penglihatanmu."
"S-Sasuke-kun..."
"Kabuto bilang masih ada kesempatan untukmu bisa melihat lagi-"
"B-benarkah?"
Refleks, Sasuke mengangguk.
"Apa pun itu, akan kulakukan yang terbaik untukmu, asal-"
Hinata menunggu, tangannya merangkak naik menyentuh lengan Sasuke yang masih menangkupkan telapak besarnya di wajah Hinata.
"Asal kau mau bersabar dan memberiku waktu."
Hinata tenggelam dalam pelukan Sasuke. Perasaan bersalah menghantuinya, kilasan kejadian sebulan lalu saat ia dengan tegas menolak kehadiran Sasuke dan menyuruh pria itu untuk meninggalkannya, mengantarnya kembali ke panti asuhan tempat dia tinggal selama ini, terbayang. Sasuke mengeratkan pelukannya, tubuh Hinata semakin bergetar. Gadis itu menangis lagi sambil menggumamkan kata maaf tanpa henti.
Bagaimana bisa Hinata meragukan cinta Sasuke yang begitu tulus tanpa syarat? Dan betapa sombongnya dia meminta Sasuke untuk meninggalkannya? Tanpa memikirkan bagaimana hidupnya akan berjalan? Hidupnya sebagai seorang yang sebatang kara dan sekarang cacat tanpa kehadiran pria yang dengan sabar telah merawatnya, mencintainya, menerima segala apa yang kurang darinya."Maafkan aku, Sasuke-kun."
.
.
.
Sasuke menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk pengobatan Hinata. Operasi pertamanya berjalan lancar tanpa hambatan, meskipun rambut panjang Hinata harus digunduli karena itu, namun bagi Sasuke, tak ada yang berbeda, Hinata masih tetap gadisnya yang manis. Setelah Hinata pulih, Sasuke mengajak Hinata menikah. Meski awalnya ragu, namun gadis itu tetap menerimanya.
Sekali lagi cobaan datang. Keluarga Uchiha menentang pernikahan mereka bahkan mengancam menyoret Sasuke dari daftar pewaris. Tidak hanya itu, Sasuke pun dikeluarkan dari perusahaan Uchiha yang bergerak di bidang pertambangan. Sasuke tak gentar dan tetap menikahi Hinata, merahasiakan semua hal buruk yang terjadi padanya dari gadis itu.
Pernikahan mereka hanya dilakukan di sebuah gereja tua, terletak tak jauh dari makam ibunda Sasuke. Tak ada satu pun sanak keluarga Uchiha, hanya Kabuto yang hadir di sana bersama istrinya, Keiha. Hinata tak banyak bertanya, mencoba mengabaikan meski kegundahan menyelimuti hatinya.
"Sasuke-kun."
Hinata mengulurkan tangan, meraba udara, berharap Sasuke menyambutnya. Tak lama harapannya terkabul, merasakan tangan besar Sasuke di genggamannya, membawanya ke dalam pelukan.
Ini malam pertama mereka.
"Kau lelah?"
Hinata menggeleng, wajahnya merona. Jika saja ia bisa melihat, hal yang sama terjadi juga pada wajah Sasuke.
"T-tidak."
Hening menyelimuti keduanya, hanya terdengar suara napas yang ditarik pun dikeluarkan secara teratur. Perlahan Sasuke menarik tangannya dari pelukan Hinata, memilih menyentuh wajah cantik istrinya dengan jemari panjangnya. Kedua mata Hinata terpejam merasakan sentuhan Sasuke di sepanjang garis rahang hingga turun ke leher jenjangnya. Napasnya mulai tak beraturan, jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari keadaan normal.
"Aku mencintaimu, Hinata," bisik Sasuke tepat di telinga kirinya, membuat bulu-bulu halus yang ada di sekujur tubuhnya meremang. Setelahnya, baik Sasuke maupun Hinata mulai tenggelam dalam pengalaman pertama yang baru keduanya rasakan. Pengalaman terindah di mana seakan keduanya tak berada di dunia yang penuh dengan masalah. Keduanya seperti berpindah ke dimensi lain, saat saling berbagi udara, kulit bersentuhan hingga akhirnya benar-benar menjadi satu. Hinata lupa jika ia tak lagi bisa melihat. Karena saat itu, matanya lebih sering terpejam. Sedangkan Sasuke lupa, jika ia harus berusaha mengumpulkan banyak uang untuk operasi mata Hinata selanjutnya.
.
.
.
"Sasuke-kun, apa itu kau?" Hinata berjalan perlahan saat mendengar seseorang membuka pintu apartemennya, tangan kanannya menggerak-gerakkan tongkat, takut jika ada sesuatu yang menghalanginya. Gadis itu hampir sampai di ruang tamu, saat suara baritone yang terdengar tidak asing, memaksa langkahnya untuk berhenti.
"Jadi, Sasuke lebih memilih menikahi gadis buta sepertimu daripada keluarganya."
Hinata terdiam, mencoba mengingat kembali suara pria itu.
"Kau menghancurkan masa depan Sasuke. Namanya telah dicoret dari keluarga Uchiha. "
Pria itu terkekeh saat melihat wajah terkejut yang ditunjukkan Hinata.
"Ada apa? Dia tidak memberitahumu, hah?! Dan apakah dia juga tidak bilang bahwa ia dikeluarkan dari perusahaan?!"
Tongkat Hinata terjatuh ke lantai, suara pantulannya tidak seberapa kencang. Gadis itu menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Apa sekarang kau puas?!"
Hinata menggelengkan kepala menjawab pertanyaan dari laki-laki yang kini ia kenali suaranya. Itu suara milik adik kandung Sasuke, Uchiha Sai.
"Karenamu aku kehilangan kakakku!!"
"Sai!!"
"Sasuke-kun?"
"Aniki?!"
Sai yang saat itu tengah berdiri di lorong yang menghubungkan pintu apartemen dengan ruang tamu terkejut saat mengetahui bahwa Sasuke telah berdiri di belakangnya. Hinata pun sama terkejutnya, karena sibuk dengan kedatangan Sai, hingga ia tidak mendengar Sasuke membuka pintu apartemen mereka.
"Untuk apa kau ke sini!?"
"A-aku-"
"Pergi!!"
Sasuke menggeram, menahan amarah yang hampir meletup di dadanya. Tanpa pikir panjang, Sai keluar. Ia membanting kencang pintu apartemen yang telah di tutup kembali oleh Sasuke tadi saat ia masuk. Suara bantingan yang terlalu kencang, membuat Hinata sedikit berjingkat karena terkejut.
"S-Sasuke-kun..."
Sasuke mendekat, memeluk Hinata, mengusap kepala istrinya yang ditutupi syal berwarna lavender.
"A-apa semua yang dia katakan benar?"
Tak ada jawaban. Hinata masih menunggu, tatapannya kosong ke arah jendela yang tirainya terbuka setengah. Sementara Sasuke tidak berniat untuk menceritakan masalah yang sebenarnya.
"Sst...tenanglah. Aku baik-baik saja."
Hinata menggeleng saat berusaha mendorong tubuh Sasuke. "Be-benar yang dikatakan oleh Sai?"
Sasuke melepas pelukannya.
"Jawab aku, Sasuke-kun!!" Hinata mulai meninggikan suaranya, menepis tangan Sasuke yang berusaha meraih lengannya.
"Hinata-"
"Jawab saja aku!"
"Ya benar!! Semua yang dikatakannya benar! Tentang aku yang tak lagi mereka anggap, dikeluarkan dari perusahaan, dan sekarang aku tidak punya apa-apa selain apartemen ini dan satu mobil milikku lagi yang tersisa!! "
Suara Sasuke menggelegar di ruang tamu apartemen mewah tersebut, membuat Hinata merinding saat mendengarnya. Satu mobil? Berarti Sasuke telah menjual yang lainnya.
"Satu mobilku baru saja kujual, dan kemungkinan besar aku akan menjual semua yang masih aku miliki."
"S-Sasuke-kun, kenapa?"
"Kenapa?! Kau pikir kenapa, hah?! Aku melakukannya agar kau bisa melihat lagi Hinata, astaga... kau pikir aku mengada-ada saat berjanji akan melakukan apa saja demi mengembalikan penglihatan mu lagi?"
Sasuke mengusap wajahnya untuk mengusir frustasi yang mencekatnya, memilih beranjak meninggalkan Hinata yang masih berdiri di tempatnya. Setelah kepergian Sasuke, Hinata membiarkan air mata yang sejak tadi ia tahan, tumpah membasahi wajahnya.
Dia tak pernah menginginkan ini, tak pernah. Apalagi mengharapkan Sasuke sampai mengorbankan dirinya sedemikian rupa.
.
.
.
Sweetest December - Winter , December ...
Sudah hampir sebulan sejak kejadian tidak mengenakkan itu. Suasana canggung menyelimuti keduanya. Hinata memilih menghindari Sasuke, begitu pun sebaliknya.
"Aku pergi dulu."
Hinata tidak menyahut kalimat Sasuke. Ia masih duduk di sofa ruang tamu, mencoba membaca buku yang tersusun dari huruf braille. Hampir lima bulan tak bisa melihat, wanita itu mempelajari apa saja yang bisa membuatnya tetap berguna. Sasuke merapatkan mantel berwarna gelap senada surai dan netranya, menyambar kunci mobil yang bertengger manis di tempat kunci yang tergantung di dinding dekat monitor CCTV. Pria itu menoleh ke arah Hinata yang tak juga memberikan respon padanya. Ia mendengus dan melanjutkan langkah. Namun saat sebelah tangannya terulur hendak membuka kenop pintu, suara Hinata membuatnya menghentikan pergerakannya.
"Hentikan, Sasuke-kun."
Sasuke masih di posisinya.
"Aku tidak ingin dioperasi lagi. Hentikan semuanya."
Salju turun satu persatu, untuk pertama kalinya sejak awal musim dingin tahun itu. Sasuke masih diam, tak berniat bicara apalagi bergerak, pun Hinata. Hingga suara dering nyaring dari ponsel Sasuke terdengar. Nama Kabuto terpampang di layar. Tanpa berpindah tempat, Sasuke menjawab panggilan sahabatnya.
"Lakukan yang terbaik."
Telepon ditutup. Hinata berdiri, membiarkan bukunya tergeletak tak berdaya di atas sofa dalam keadaan terbuka.
"Ada apa? Apa yang dikatakan Kabuto-san? Bilang padanya, aku sudah tidak mau lagi dioperasi."
Sasuke terlalu malas berdebat, tapi ia pun tidak bisa pergi begitu saja meninggalkan Hinata. Dia bukan tipe pria yang selalu lari dari masalah.
"Jawab aku Sasuke-kun!"
"Apa yang harus aku jawab?!"
Sasuke lebih meninggikan suaranya, menyeret langkah hingga berdiri tepat di depan Hinata yang tidak melihat ke arahnya. "Katakan padaku bagaimana harus kujawab pertanyaanmu, Hinata?" Suara Sasuke terdengar penuh penekanan.
Hinata menarik napas panjang hingga kedua matanya tertutup. "Aku tidak mau lagi, Sasuke-kun. Semua sudah cukup, kau tidak perlu mengorbankan dirimu untukku."
Tangan Hinata bergerak mencari keberadaan Sasuke, dan dia berhasil menemukannya. Memegang lengan hingga merayap menyentuh wajah tampan yang masih ia ingat betul bagaimana rupanya.
"Kumohon padamu, Sasuke-kun..." Hinata meraba wajah Sasuke dengan jemari lentiknya. Saat jemari itu menyentuh benda lunak di sana, sedikit berjinjit, ia memberanikan diri memberikan kecupan singkat di bibir suaminya. "A-aku tidak bisa melihat seberapa menderitanya dirimu. I-itu yang membuatku merasa benar-benar tidak berguna sebagai istrimu, p-pendampingmu."
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Hinata, membuat Sasuke merasa bersalah detik itu juga. "Hinata, dengar-" Sasuke menangkup kedua tangan Hinata, meremasnya seakan memberikan kekuatan dan memintanya untuk percaya bahwa apa yang ia lakukan hanyalah untuk kebahagiaan mereka berdua. "Apa kau keberatan jika kita tidak lagi mengendarai mobil pribadi?" Hinata menggeleng. "Apa kau keberatan jika harus bergandengan tangan dan berlari mengejar bus denganku?" Gelengannya kali ini disertai senyuman.
"Apa kau keberatan jika kita pindah ke rumah yang lebih sederhana? Hanya ada dua kamar tidur, untuk kita dan anak kita, satu kamar mandi yang akan membuat kita saling berteriak memperebutkannya?"
"Tidak, tidak... Sasuke-kun. "
Hinata menarik tangannya, memilih melingkarkannya di leher jenjang Sasuke.
"Kau percaya padaku, kan?"
Sasuke pun melakukan hal yang sama. Bedanya kedua tangannya melingkar manis di pinggang Hinata. Wanita itu mengangguk berulang kali, Sasuke bisa merasakannya.
"Jika kau percaya padaku, mulai sekarang... detik ini juga, jangan pernah lagi meragukan apa pun yang aku lakukan."
"M-maaf."
"Kau harus bisa melihat lagi meskipun aku harus kehilangan semua yang kumiliki di dunia ini. Aku rela. Kau tahu? Aku rela... asal itu bukan dirimu."
Hinata dua kali melakukan kesalahan yang sama, meragukan Sasuke yang malah memprioritaskan dirinya di atas segalanya. Mengabaikan cinta yang dimiliki Sasuke yang hanya tercipta untuknya. Harusnya ia percaya, meski berkali terluka, Sasuke akan selalu menjadi kuat, jika ia tetap mendukungnya, berdiri di sisinya, memegang tangan dan menjadi penghapus lelahnya. Hanya itu yang Sasuke mau dari Hinata.
.
.
.
Sasuke menanti dengan harap-harap cemas, terus memperhatikan tangan salah satu dokter saraf yang menangani Hinata perlahan membuka lilitan perban di kepala istrinya.
Hinata pun sama, dalam hati berdoa semoga usahanya dan Sasuke tidak sia-sia. Operasi terakhir yang dilaluinya memaksa Sasuke menjual mobil serta apartemen mewah tempat tinggal mereka.
"Sebentar lagi."
Rasanya Sasuke ingin menghajar sesuatu saat mendengar suara penuh harapan dari si dokter ahli syaraf yang ditunjuk Kabuto untuk menangani operasi Hinata. Keringat dingin mengalir di punggung serta dahi Sasuke. Satu lilitan lagi, Sasuke menahan napas. Saat semuanya benar-benar terlepas, perlahan napasnya kembali ia hembuskan. Tinggal dua kapas bertengger di sana. Tangan dokter itu terulur lagi, mengambil satu kapas tersebut. Tak lama, kedua mata Hinata benar-benar terbebas dari kapas. Kabuto yang ada disebelah Sasuke menghela napas, menolehkan wajah kearah sahabatnya yang masih menatap lurus kearah Hinata.
"Kalian siap?"
Refleks keduanya mengangguk bersamaan. Kabuto mengambil alih, berjalan menghampiri dan berdiri tepat di depan Hinata yang duduk manis di kursi ruang khusus pemulihan pasca operasi. Dokter yang tadi menangani Hinata mengangguk, mempersilahkan atasannya untuk memegang kendali selanjutnya. "Kita mulai." Hinata mengangguk, mengikuti instruksi Kabuto dengan teliti. Pertama, Kabuto memintanya untuk beberapa kali memejam erat, lalu mengangkat naik perlahan kelopak matanya, setengah terbuka, Kabuto menyuruh memejamkannya kembali.
"Kau merasa pusing?"
Hinata menggeleng. Kedua tangan yang bertengger manis di pangkuan tanpa sadar meremas baju pasien yang ia gunakan. Tadi, saat setengah matanya terbuka, bukan kegelapan lagi yang ia lihat melainkan sesuatu yang putih dan juga menyilaukan.
Kabuto kembali memberi isyarat. Kini kedua mata Hinata telah terbuka sepenuhnya. Wanita itu mengerjap beberapa kali merasakan pusing tiba-tiba menyerang kepalanya, membuat kedua tangannya refleks memegang kedua sisi keningnya. Sasuke dengan sigap langsung mendekat, memegang bahu mungil istrinya.
"Jangan memaksakan diri."
"M-maafkan aku, Sasuke-kun." Suara Hinata terdengar lemah. Baik Sasuke maupun Kabuto dan dokter serta dua orang suster yang ada di sana dibuat sama-sama terkejut mendengar kalimat permintaan maaf keluar dari mulut Hinata.
"S-Sasuke-kun."
Sasuke buru-buru tersadar, tangannya terangkat untuk mengelus lembut puncak kepala Hinata yang masih tanpa sehelai rambut.
"Jangan dipikirkan." Hinata memeluk pinggang Sasuke, menelusupkan wajah dengan nyaman di bagian perut six pack suaminya yang tertutup kaos polo berwarna biru tua.
"Bukankah kita bisa melakukan operasi lagi, Kabuto?" Kabuto diam, tak berniat menggeleng terlebih mengiyakan. Sasuke paham betul jika operasi terakhir itu juga adalah kesempatannya yang terakhir.
"Sebaiknya kau kembali ke kamar rawatmu, Hinata." Hanya kalimat itu yang bisa Kabuto keluarkan. Menginteruksikan beberapa suster untuk membantu Hinata kembali ke kamar rawatnya. Hal yang langsung ditolak oleh Sasuke, karena ia ingin mengantar istrinya sendiri ke sana.
Kabuto dan anak buahnya berbalik keluar ruangan terlebih dahulu. Membiarkan Sasuke membantu Hinata yang masih belum mau membuka matanya, untuk berdiri. "Ayo." Hinata menahan lengan Sasuke saat langkah pertama mereka baru saja dimulai. "Ada apa?"
Tak menjawab, Hinata memilih menangkup wajah tampan suaminya. Matanya masih terpejam, jemarinya mulai meraba setiap bagian dari wajah yang telah lama ia rindukan.
"Seperti apa dirimu sekarang, Sasuke-kun?"
Sasuke mengecup jemari Hinata yang kini membelai bibirnya.
"Aku masih, Sasuke-mu yang dulu."
"Benarkah?"
"Hn." Sasuke menyingkirkan tangan Hinata dari wajahnya. "Kita pergi."
"Tunggu."
"Apa lagi?"
Sasuke menunggu, melihat dengan jelas saat bibir merah muda Hinata merekah. Perlahan wanita muda itu mengangkat kelopak matanya, mengerjap belasan kali. Sasuke masih terdiam, memperhatikan tiap gerakan yang dilakukan istrinya.
Saat kedua mata Hinata terbuka sempurna, senyum semakin mengembang hingga barisan rapih gigi putihnya terlihat.
"Kau benar-"
"H-Hinata?"
"Kau masih Sasuke-kun yang dulu."
.
.
.
Sasuke membantu Hinata membereskan pakaian yang ia bawa selama menginap di rumah sakit. Keduanya berbincang tentang rumah sederhana yang baru saja Sasuke beli dari uang sisa penjualan apartemen dan mobilnya. Hinata mendengarkan dengan antusias, sesekali menanggapi dengan senyum dan tawa sekenanya. Entah sejak kapan, Sasuke berubah menjadi pribadi yang lebih terbuka. Dan itu membuat Hinata semakin mencintainya.
"Kau tahu? Rumahnya hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi."
"Bukankah itu kesepakatan kita dulu?"
"Tapi kemudian aku berpikir, bagaimana jika kita memiliki banyak anak?"
"Kita bisa menambah satu lantai lagi."
"Ah kau benar, kenapa tidak terpikir sebelumnya olehku?"
Hinata mengelus lengan Sasuke, membuat pria itu menolehkan wajah ke arahnya.
"Hn?"
"Itu karena kau terlalu bahagia."
Sasuke tertegun. Tentu saja dia bahagia, apa Hinata sedang bercanda? Bagaimana mungkin dia tidak bahagia saat mengetahui Hinata bisa kembali melihat dunia.
"Sasuke-kun?"
"Hn?"
"Kita pergi."
Tanpa mengangguk, Sasuke menggamit tangan Hinata, membawanya berjalan keluar dari kamar rawat yang sudah dua minggu ia tempati. Mereka menemui Kabuto, mengucapkan terima kasih, mengirim salam untuk istrinya, Keiha. Bahkan mereka mengundang Kabuto dan Keiha untuk makan malam di rumah baru mereka, dengan senang hati Kabuto menerimanya. Pria bersurai perak itu menawarkan untuk mengantar keduanya, namun dengan halus Sasuke pun Hinata menolaknya.
"Jadi... naik taksi?"
Hinata menggeleng.
"Hn?"
"Ikuti aku."
Sasuke menurut saat Hinata mengajaknya berjalan menuju halte bus yang terletak tak jauh dari rumah sakit. Keduanya tertawa, dengan jemari yang saling terpaut mengisi tiap sisinya, langkah kaki seirama dan seringan udara bulan Desember yang dinginnya kian menusuk tulang.
"Kau tahu Sasuke-kun?"
"Hn?"
"Ini adalah hadiah terhebat yang aku dapatkan tahun ini."
Sasuke tidak lupa hari ulang tahun Hinata di bulan Desember. Tapi itu masih seminggu lagi.
"Natal dan ulang tahun yang luar biasa."
"Apa itu sebuah kode rahasia untukku?"
"Maksudmu?"
Sasuke terkekeh, wajahnya dua kali lipat lebih tampan daripada saat ia berekspresi datar. "Kau meminta hadiah?"
Hinata tahu Sasuke bercanda, tapi tetap saja ia memajukan bibirnya sebagai tanda merajuk.
"Aku bercanda."
"Kau menyebalkan."
Keduanya tertawa, tak menyadari bus yang baru saja datang adalah bus yang akan mereka tumpangi.
"Itu busnya."
Sasuke menarik tangan Hinata lebih kuat. Keduanya berlari, melambaikan tangan, tanpa ada yang mau berteriak menghentikan bus yang mulai melaju pelan meninggalkan halte, meninggalkan keduanya yang beberapa meter lagi sampai ke sana. Hinata tersenyum, sambil terus memperhatikan punggung suaminya dari belakang. Sudah lama sekali rasanya ia tak memperhatikannya, sedetik pun tak ingin ia lewatkan untuk bisa terus melihat, menatap, memandang ke arah Sasuke.
Salju turun perlahan. Hinata menengadah, menatap langit sebentar membiarkan salju menyentuh wajahnya. Kemudian dia kembali memfokuskan pandang ke arah punggung Sasuke. Mereka berhenti berlari, saat bus itu pun berhenti tepat satu meter setelah halte. Pintu bus terbuka, menampilkan senyum ramah si supir yang merupakan seorang pria paruh baya. Sasuke menoleh kearah Hinata, mendapati senyum secerah mentari wanitanya.
"Ayo naik... kita pulang." Hinata mengangguk, mengeratkan genggaman tangannya di telapak tangan yang penuh kehangatan milik suaminya. Uchiha Sasuke.
Betapa baiknya Tuhan. DIA benar-benar merencanakan hal yang luar biasa untuk mereka, meskipun tanpa sesuatu yang mewah. Jika hanya dengan melihatnya tertawa saja hati sudah merasa bahagia, maka... sesederhana itulah cinta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar